Judul : Sang Raja
Penulis : Iksaka Banu
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : I, September 2017
Tebal : 383 hlm
ISBN : 978-602-424-331-9
Industri rokok kretek di Indonesia telah mengalami sejarah yang panjang. Sejarah mencatat industi rokok khas Indonesia ini lahir lewat tangan dingin Nitisemito di bawah bendera NV. Nitisemito yang didirikan pada tahun 1914. Nitisemito berhasil merubah bisnis rokok kretek yang saat itu hanya industri rumah tangga menjadi industri berskala besar yang mempekerjakan ribuan karyawan.
Di paruh pertama abad ke 20 rokok Tjap Bal Tiga produksi NV. Nitisemo begitu terkenal sehingga Ratu Belanda Wilhemina menjuluki Nitisemito sebagai De Kretek Konning (Raja Kretek). Tidak berlebihan karena di tahun 1938 Nitisemito telah mempekerjakan 10.000 buruh linting dengan produksi 10 juta batang rokok per hari dengan pangsa pasar di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Singapura, hingga ke negeri Belanda. Begitu terkenalnya Nitisemito sampai-sampai namanya disebut-sebut Bung Karno dalam pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juli 1945 yang sekarang dikenal sebagai Hari Lahir Pancasila.
Selain itu sejarah mencatat bahwa Nitisemito adalah orang pertama yang memasarkan rokok dalam kemasan bermerk sehingga bisa dikatakan bahwa pabrik rokok NV. Nitisemito adalah pelopor industri rokok kretek pertama di Kudus yang dikelola dan dipasarkan secara modern.Dalam hal pemasaran, NV. Nitisemito juga dikenal dengan strateginya yang kreatif dan fenomenal antara lain menyewa pesawat Fokker seharga f 200,- untuk menyebarkan pamflet iklan rokok Tjap Bal Tiga di langit Bandung dan Jakarta dan menggunakan mobil promosi khusus. Selain itu pemasarannnya juga dilakukan melalui siaran radio, mendirikan gedung bioskop di Kudus dan menjadi salah satu sponsor bagi film Panggilan Darah yang sukses di pasaran. Selain itu Nitisemito juga memberikan bonus berupa barang pecah belah import dari Jepang, sepeda, jam dinding, dll yang semuanya berlogo rokok Tjap Bal Tiga kepada pelanggan setianya
Kisah pabrik rokok NV. Nitisesmito di bawah kepemimpinan Sang Raja Kretek Nitisemito inilah yang dinarasikan dengan apik dalam bentuk novel oleh Iksaka Banu, peraih Anugerah Kusala Sastra Khatulistiwa 2014 kategori prosa untuk novelnya yang berjudul Semua Untuk Hindia (KPG, Mei 2014).
Novel Sang Raja dibuka dengan porsesi pemakaman Nitisemito menurut sudut pandang seorang wartawan harian Bintang Timur yang berniat untuk menuliskan kisah kehidupan Nitisemito. Untuk itu dia mewawancarai dua orang pegawai Nitisemito yaitu Filipus Rechterhand dan Wiroesoeseno. Filipus, seorang Belanda totok adalah pegawai bagian pembukuan di pabrik rokok Bal Tiga, Sedangkan Wirosoeseno, seorang Jawa tulen, priyayi rendahan yang bekerja di bagian pemasaran.
Melalui penuturan Filipus dan Wirosoeseno inilah kisah Nitisemito dan pabrik rokoknya diceritakan. Nitisemito, anak seorang kepala desa di daerah Kudus, Jawa Timur. Nama kecilnya Roesdi bin Soelaeman. Alih-alih mengikuti jejak ayahnya sebagai ambtenaar Ia lebih memilih menempuh jalan hidupnya sendiri, mulai dari buruh jahit, berdagang minyak kelapa, kerbau, hingga menjadi juragan sekaligus kusir dokar. Pada saat ia menjadi kusir dokar ia menikah dengan seorang pemilik warung nasi bernama Narsilah. Setelah menikah Roesdi mengganti namanya menjadi Nitisemito.
Untuk menambah penghasilan, disamping berjualan makanan, Narsilah juga berjualan tembakau di warungnya. Pada suatu saat, Narsilah mengolah tembakau itu menjadi rokok klobot. Tembakaunya ia campur dengan cengkeh dicampur saus yang dibuat dari sari-sari buah. Ternyata ramuannya digemari para pelanggannya. Semenjak itu Nitisemito mengembangkan usaha rokok klobotnya ini dan mencoba memasarkan rokoknya dalam kemasan yang diberi merk. Setelah beberapa kali mencoba berbagai merek akhirnya ia menemukan gambar bulatan tiga dan menggunakannya sebagai etiket di kemasannya dan orang menyebutnya sebagai rokok cap Bal Tiga.
Lambat laun rokok cap Bal Tiga semakin dikenal orang dan Nitisemito pun terus mengembangkan usahanya hingga akhirnya mendirikan pabrik NV Nitisemito Bal Tiga yang membuatnya menjadi pengusaha rokok terkaya dan terkemuka di zamannya.
Walau telah menjadi pabrik besar, NV. Nitisemito tak luput dari berbagai tantangan baik dari dalam maupun dari luar antara lain saat harga cengkeh yang meroket, atau ketika pemerintah Hindia Belanda memberlakukan cukai rokok yang berpengaruh langsung terhadap harga jual rokok, munculnya pabrik-pabrik rokok kretek lainnya serta depresi ekonomi dunia di tahun 1930.
Untuk menambah penghasilan, disamping berjualan makanan, Narsilah juga berjualan tembakau di warungnya. Pada suatu saat, Narsilah mengolah tembakau itu menjadi rokok klobot. Tembakaunya ia campur dengan cengkeh dicampur saus yang dibuat dari sari-sari buah. Ternyata ramuannya digemari para pelanggannya. Semenjak itu Nitisemito mengembangkan usaha rokok klobotnya ini dan mencoba memasarkan rokoknya dalam kemasan yang diberi merk. Setelah beberapa kali mencoba berbagai merek akhirnya ia menemukan gambar bulatan tiga dan menggunakannya sebagai etiket di kemasannya dan orang menyebutnya sebagai rokok cap Bal Tiga.
Lambat laun rokok cap Bal Tiga semakin dikenal orang dan Nitisemito pun terus mengembangkan usahanya hingga akhirnya mendirikan pabrik NV Nitisemito Bal Tiga yang membuatnya menjadi pengusaha rokok terkaya dan terkemuka di zamannya.
Walau telah menjadi pabrik besar, NV. Nitisemito tak luput dari berbagai tantangan baik dari dalam maupun dari luar antara lain saat harga cengkeh yang meroket, atau ketika pemerintah Hindia Belanda memberlakukan cukai rokok yang berpengaruh langsung terhadap harga jual rokok, munculnya pabrik-pabrik rokok kretek lainnya serta depresi ekonomi dunia di tahun 1930.
Tantangan-tantangan tersebut berhasil dilalui oleh Nitisemito namun yang tersulit justru tantangan dari dalam yaitu ketika terjadi konflik kepentingan dalam keluarga Nitisemito. Akoean Markoem yang merupakan cucu Nitisemito dari istri pertamanya, tak senang dengan Karmain, menantu Nitisemito dari istri keduanya. Karmain yang saat itu menjadi kuasa usaha Nv. Nitisemitoa dilaporkan oleh Akoean telah melakukan penggelapan pajak hingga akhirnya dipenjara.
Tidak adanya Kaiman membuat suasana pabrik menjadi lesu. Namun pabrik tetap berlanjut hingga masa pendudukan Jepang, masa revolusi kemerdekaan hingga proklamasi kemerdekaan dan masa bersiap paska kemerdekaan.
Kisah dalam novel ini dibalut dengan berbagai peristiwa sejarah dan persoalan-persoalan kolonialisme, identitas, hingga gerakan organisasi kemerdekaan seperti Sarikat Islam dan Muhamadiyah yang konon memiliki keterkaitan dengan Sang Raja Kretek
Selain itu para penutur yaitu Filipus dan Wiroseoeseno juga mendapat panggung dan kisah tersendiri di novel ini. Selain kisah tentang bagaimana mereka berkiprah dalam pekerjaan mereka penulis juga menyuguhkan kisah kehidupan pribadi mereka masing-masing
Dibanding kisah kehidupan Wiroseoseono kisah Filipus Rechterhand tampak lebih menarik dan berwarna. Filipus adalah seorang Belanda totok yang lahir di Hindia dan beristrikan seorang wanita pribumi. Latar belakang ini juga membuat tokoh Filipus menjadi seorang Belanda baik yang membela pribumi.
Dari pernikahannya dengan wanita pribumi yang dicintainya lahir seorang anak laki-laki yang kelak bergabung dalam KNIL. Kehidupan nyamannya mulai terusik ketika Jepang datang. Filipus harus berpisah dengan istrinya karena harus masuk kamp inteniran sementara Hans, anaknya ditangkap oleh Jepang. Hal ini yang menjadi sebuah kisah tersendiri yang menarik dalam novel ini.
Selain kisah tentang Wiroesoeseno dan Filipus, penulis juga menarasikan sejarah rokok kretek, proses produksi rokok kretek, dan lintasan perisitiwa sejarah Indonesia seperti kedatangan Jepang hingga masa revolusi kemerdekaan yang berdampak besar pada operasional pabrik beserta hasil produksinya. Namun sayangnya ada beberapa peristiwa sejarah di bagian akhir novel yang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan kisah dalam novel ini misalnya tentang serangan Umum Jogya 1949, perjanjian Room-Roijen, tentang Jenderal Sudirman yang berhasil dibujuk untuk melakukan gencatan senjata, dan sebagainya.Hal ini memang bermanfaat namun tentunya dapat mengganggu keasyikan dalam membaca novel ini.
Yang agak disayangkan juga adalah tokoh Nitisemito dalam novel ini yang hanya dimunculkan sekilas-sekilas saja padahal judul novel ini "Sang Raja" yang jika menilik judulnya sepertinya merupakan novelisasi kisah hidup pengusaha rokok kretek terkemuka di paruh pertama abad ke 20. Namun kisah dalam novel ini lebih didominasi tentang pabrik rokok NV. Nitisemito dan kisah kehidupan penuturnya (Filipus dan Wirosoeseno) sementara kisah kehidupan Sang Raja Kretek sendiri hanya selewat saja dan terkesan hanya sekedar disisipkan diantara kisah pabrik dan kisah penutur.
Terlepas dari hal di terbitnya novel Sang Raja patut diapresiasi setinggi-tingginya karena novel ini mengangkat tema tentang sejarah awal berdirinya industri rokok kretek, salah satu industri warisan nenek moyang bangsa Indonesia yang sudah mengakar turun temurun sehingga tak bisa dilepaskan dari sejarah dan budaya bangsa Indonesia.
Nitisemito adalah tokoh dunia usaha yang inspriratif dimasa kaum pribumi banyak bergantung pada pengusaha Eropa. Nitisemito, seorang pribumi buta huruf di kota kecil Kudus mampu menjadi pengusaha sukses yang setara dengan pengusaha-pengusaha Eropa di masa itu dimana ia menjadi tumpuan puluhan ribu karyawannya. Pengalaman hidupnya yang tertuang dalam novel ini layak jadi ilham dan panutan bagi generasi-generasi sesudahnya.
Satu hal yang tak kalah menarik adalah diterbitkannya novel ini dalam dua versi cover (merah dan hijau) dimana para pembaca diberi kebebasan untuk memilih cover mana yang disukainya. Sepertinya penggunaan dua warna cover yang berbeda untuk sekali terbitan ini baru pertama kalinya dilakukan di ranah perbukuan Nasional.
@htanzil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar