Judul : Perpustakaan Kelamin : Buku dan Kelamin dalam Pertaruhan
Penulis : Sanghyang Mughni Pancaniti
Penerbit : Semesta
Cetakan : I, Mei 2016
Tebal : 229 hlm
ISBN : 978-602-14549-3-0
Novel dengan judul yang unik dan menimbulkan rasa penasaran ini mengisahkan tentang seorang tokoh bernama Hariang yang tinggal di desa Cigendel, Sumedang, Jawa Barat bersama ibunya yang begitu mencintai buku. Agar anaknya mencintai buku sang ibu mendidik anaknya dengan cara yang unik yaitu merahasiakan isi dari sebuah ruangan terkunci berukuran 4 x 8 meter dari anaknya. Semakin besar Hariang semakin penasaran apa isi dari ruangan yang selalu terkunci tersebut. Setiap kali Hariang bertanya jawaban ibunya selalu sama, "Kamu belum waktunya tahu".
Baru ketika Hariang berusia 20 tahun sang ibu mengizinkan anaknya memasuki ruangan rahasia itu yang ternyata sebuah ruangan berisi ribuan buku yang dikumpulkan oleh ibunya selama 19 tahun dari hasil menyisihkan pendapatannya yang diperoleh dari penjualan hasil kebunnya.
Ruangan ini dulunya adalah kandang domba. Sebelum kamu lahir, bapakmu menyulapnya menjadi ruangan yang memang diniatkan untuk menjadi taman baca bagi warga, dan anaknya kelak......Akan tetapi bapakmu keburu menghadap Tuhan, sebelum bisa membeli satu buku pun yang diniatkannya untuk masyarakat serta anaknya."
(hlm 9)
"Merahasiakan ruangan ini dari kamu, adalah mutlak rencana ibu. Alasan ibu sederhana, biar kamu terus bertanya, merindukannya, lalu jatuh cinta kepada yang ibu rahasiakan itu, sesaat setelah kamu mengetahuinya...Ibu hanya ingin kamu jatuh cinta kepada buku, menganggapnya sebagai benda yang istimewa.....Bantu ibu, agar banyak tetangga kita yang mau membaca di sini, terutama anak-anak. Buku bukan hanya milik mereka mengaku dirinya terpelajar,tapi milik semua orang yang ingin menatap makna."
(hlm 10)
Perpustakaan ini akhirnya diberi nama Pabukon Kadeudeuh, Pabukon = Perbukuan/perpustakaan, Kadeudeuh = Kasih Sayang. Hariang dan ibunya bersama-sama menjadi pengelolanya. Siapapun boleh membaca di perpustakaan tersebut tanpa dipungut biaya. Pada suatu hari Hariang didatangi oleh Kang Ulun, pemuda terpelajar yang kaya. Kang Ulun meminta bantuan Hariang untuk mencari donor kelamin bagi dirinya. Sudah menjadi rahasia umum kalau Kang Ulun tidak memiliki organ kelaim karena terpotong habis ketika proses khitan saat ia berusia 5 tahun. Karena ingin menjadi lelaki seutuhnya maka ia berniat mencari donor kelamin dengan imbalan 1, 5 Milyard. Karena kenal dekat dengan Kang Ulun Hariang pun menyanggupi untuk membantu mencarikan donor kelamin.
Mencari donor kelamin tidaklah mudah, walau jumlah uang pengganti yang diberikan kepada pendonor begitu besar namun lelaki normal mana yang mau mengorbankan kelelakiannya. Ketika Hariang berusaha mencari donor kelamin di kota Bandung sebuah musibah terjadi menimpa perpustakaannya. Perpustakaan Pakubon Kadeudeuh dengan koleksi 11.000 buku habis terbakar dilalap api. Tak hanya itu, peristiwa itu membuat jiwa ibunya terguncang parah sehingga menjadi gila.
Berbagai cara dilakukan Hariang untuk menyembuhkan ibunya, mulai dari mendatangkan dokter jiwa, hingga lewat doa-doa. Namun semua itu tak bisa mengembalikan kewarasan ibunya. Sampai akhirnya Hariang mendapat keyakinan bahwa ibunya bisa sembuh jika perpustakaannya dibangun ulang karena buku dan perpustakaan selama ini telah menjadi bagian yang terpisahkan dari ibunya.
Untuk membangun kembali perpustakaannya Hariang bekerja sebagai pegawai toko buku, pegawai restoran, dan mengisi kolom cerpen di sebuah koran. Dari penghasilannya bekerja dan menulis cerpen Hariang bisa membeli 400 buah buku. Jumlah yang masih jauh dibanding 11.000 buku yang sebelumnya dimiliki Perpustakaannya
"Aku sudah mencoba bersabar, untuk terus mengumpulkan buku sampai satu tahun lamanya, agar ada perubahan pada kejiwaan ibu, tapi sepertinya putus asa mulai menyergapku, bertakhta. Baru saja tiga bulan mencari uang, aku tak mampu menunggu kesembuhan ibu lebih lama lagi, perpustakaan harus segera didirikan. Tapi dengan cara apa? Tak ada barang berharga yang bisa kujual. Aku miskin "
Ada satu nama yang tiba-tiba terlintas, namun yang membuatku bergidik ngeri, diakah jalannya? Kang Ulun, ya Kang Ulun. Haruskah aku mendonorkan kelaminku kepadanya? Uang 1,5 Milyard yang dijanjikannya itu bisa kubelikan buku sebanyak mungkin, bahkan gedung perpustakaan bisa kudirikan kembali, dengan lebih besar, lebih megah. Tapi benarkah, demi buku dan ibu, haruskah kupertaruhkan kelamin yang sangat kupuja ini? Edan!"
(hlm 207)
Bukan hal yang mudah bagi Hariang untuk memutuskan apakah ia akan korbankan kelaminnya untuk dapat membangun perpustakaan demi kesembuhan ibunya. Apalagi saat itu ia telah memiliki seorang kekasih yang telah ia yakini akan menjadi calon istrinya kelak.
Khazanah Perbukuan dalam Perpustakaan Kelamin
Novel ini tak hanya menyuguhkan kisah menarik usaha Hariang dalam membangun perpustakaan guna menyembuhkan ibunya melainkan ada banyak khazanah perbukuan dunia dan Indonesia yang disusupkan dalam novel ini. Kita akan menemukan kisah bagaimana sejarah buku tercipta, kegilaan orang dan tokoh-tokoh dunia yang gila membaca seperti Napoleon Bonaparte yang membuat lemari buku di keretanya agar di sela-sela berperang tetap bisa membaca, atau Sun Ching yang karena tak ingin berhenti membaca mengikat rambutnya pada tiang di atas kepalanya untuk menjaga dirinya supaya tegak. Ada pula diceritakan kisah tentang penulis cabul Marquis de Sadde yang terus menulis walau dalam penjara seperti yang dikisahkan dalam film Quills
Sebutan atau istilah bagi para penggila buku yang pernah dimuat di buku Memposisikan Buku di Era cybercpace karya Putut Widjanarko seperti bibliomania, bibliofil, bibliotaf, biblioklas, dll dikutip dalam novel ini. Selain itu ada banyak kutipan-kutipan menarik dari berbagai penulis dan buku yang bertebaran di novel ini. Mungkin ada ratusan judul buku yang disebut-sebut dalam novel ini.
Kecintaan dan kesadaran orang akan pentingnya membaca buku selain terwakili oleh tokoh Hariang dan ibunya juga tercermin dalam komunitas PAKU (Pasukan Anti Kuliah) yang anggotanya terdiri dari orang-orang yang drop out atau kecewa dengan sistem pendidikan di Indonesia. Walau mereka tidak kuliah namun wawasan para anggotanya tidak kalah dengan mereka yang kuliah. Mereka secara rutin menggelar diskusi buku. Dalam novel ini pemikiran, filosofi, dan aktivitas PAKU terdeskripsikan dalam satu bab khusus dan hal ini membuat novel ini menjadi semakin menarik dan begitu hidup sehingga saya penasaran apakah komunitas ini benar-benar ada di Bandung?
Dari bab khusus tentang PAKU ini akan terungkap tentang sejarah pelarangan buku di dunia dan Indonesia, dan untuk melengkapinya di bab-bab akhir dimuat juga Daftar Pelarangan Buku di Indonesia 1968-1998 yang dikutip penulis dari buku Menentang Peradaban (Pelarangan Buku di Indonesia), LSAM, 1999.
Bukan Novel Biasa
Selain tentang khazanah perbukuan, novel ini juga memasukkan wacana tentang keagamaan, seksualitas, kritik terhadap sistem pendidikan, dan sebagainya yang pada akhirnya mengerucut pada sebuah pertaruhan antara buku dan kelamin dan apakah yang menjadi puncak peradaban itu bukukah atau kelamin? Semua wacana tersebut tersaji dalam dialog antar tokoh-tokohnya sehingga novel ini bukan sekedar novel sastra biasa melainkan novel sastra plus-plus yang akan menambah wawasan pembacanya. Di novel ini terdapat juga sebuah epilog berjudul Sex, benarkah Puncak dari Peradaban? yang ditulis Shiny ane El Poesya.
Sebagai sebuah novel yang ditulis oleh penulis yang mukim di Bandung dan memiliki setting cerita di Sumedang dan Bandung, penulis memasukkan kandungan lokal khas orang-orang Sunda yaitu istilah-istilah dan peribahasa Sunda beserta artinya. Beberapa peribahasa mungkin sudah jarang kita dengar sehingga novel ini bisa dikatakan mengangkat kearifan lokal budaya Sunda yang mungkin sudah terlupakan bagi pembaca muda.
Walau banyak mengandung materi-materi tambahan yang dimasukkan dalam novel ini namun penulis meramunya sedemikian rupa sehingga seluruhnya melebur dalam kisahnya sehingga pembaca novel ini akan mendapat kisah yang menarik dengan bonus berupa materi-materi penambah wawasan yang telah disebutkan di atas.
Dari segi karakter tokoh, tokoh utama dalam novel ini yaitu Hariang dieksporasi oleh penulisnya dengan sangat baik lewat dialog batin Hariang maupun lewat dialog-dialog dengan lawan bicaranya. Tokoh Hariang digambarkan apa adanya, dia bukan manusia sempurna, di satu sisi dia paham dan taat pada ajaran agamanya, namun sebagai manusia yang penuh kelemahan dia juga dikisahkan tidak luput dari keinginan dan melakukan berbuat dosa. Pergulatan batin inilah yang juga dimunculkan oleh penulisnya sehingga hal ini membuat pembaca akan merasa dekat dengan tokohnya yang begitu manusiawi.
Mengenai kelamin apakah betul bisa didonorkan dan dipasang di tubuh orang lain saya sendiri tidak tahu kebenarannya. Bagi sebagaian pembaca mungkin menganggap hal ini berlebihan dan tidak masuk akal, namun saya pribadi tidak mempermasalahkan karena dengan menggunakan isu donor kelamin sebagai sebuah pertaruhan demi buku dan kasih sayang akan membuat posisi buku sebagai salah satu simbol dari peradaban menjadi semakin kokoh.
Dengan segala kebaikan yang ada dalam novel ini ada sedikit ganjalan yaitu bagaimana Hariang menemukan bahwa Pohon adalah simbol dari tercapainya Puncak Spiritual
@htanzil
Sebutan atau istilah bagi para penggila buku yang pernah dimuat di buku Memposisikan Buku di Era cybercpace karya Putut Widjanarko seperti bibliomania, bibliofil, bibliotaf, biblioklas, dll dikutip dalam novel ini. Selain itu ada banyak kutipan-kutipan menarik dari berbagai penulis dan buku yang bertebaran di novel ini. Mungkin ada ratusan judul buku yang disebut-sebut dalam novel ini.
Kecintaan dan kesadaran orang akan pentingnya membaca buku selain terwakili oleh tokoh Hariang dan ibunya juga tercermin dalam komunitas PAKU (Pasukan Anti Kuliah) yang anggotanya terdiri dari orang-orang yang drop out atau kecewa dengan sistem pendidikan di Indonesia. Walau mereka tidak kuliah namun wawasan para anggotanya tidak kalah dengan mereka yang kuliah. Mereka secara rutin menggelar diskusi buku. Dalam novel ini pemikiran, filosofi, dan aktivitas PAKU terdeskripsikan dalam satu bab khusus dan hal ini membuat novel ini menjadi semakin menarik dan begitu hidup sehingga saya penasaran apakah komunitas ini benar-benar ada di Bandung?
Dari bab khusus tentang PAKU ini akan terungkap tentang sejarah pelarangan buku di dunia dan Indonesia, dan untuk melengkapinya di bab-bab akhir dimuat juga Daftar Pelarangan Buku di Indonesia 1968-1998 yang dikutip penulis dari buku Menentang Peradaban (Pelarangan Buku di Indonesia), LSAM, 1999.
Bukan Novel Biasa
Selain tentang khazanah perbukuan, novel ini juga memasukkan wacana tentang keagamaan, seksualitas, kritik terhadap sistem pendidikan, dan sebagainya yang pada akhirnya mengerucut pada sebuah pertaruhan antara buku dan kelamin dan apakah yang menjadi puncak peradaban itu bukukah atau kelamin? Semua wacana tersebut tersaji dalam dialog antar tokoh-tokohnya sehingga novel ini bukan sekedar novel sastra biasa melainkan novel sastra plus-plus yang akan menambah wawasan pembacanya. Di novel ini terdapat juga sebuah epilog berjudul Sex, benarkah Puncak dari Peradaban? yang ditulis Shiny ane El Poesya.
Sebagai sebuah novel yang ditulis oleh penulis yang mukim di Bandung dan memiliki setting cerita di Sumedang dan Bandung, penulis memasukkan kandungan lokal khas orang-orang Sunda yaitu istilah-istilah dan peribahasa Sunda beserta artinya. Beberapa peribahasa mungkin sudah jarang kita dengar sehingga novel ini bisa dikatakan mengangkat kearifan lokal budaya Sunda yang mungkin sudah terlupakan bagi pembaca muda.
Walau banyak mengandung materi-materi tambahan yang dimasukkan dalam novel ini namun penulis meramunya sedemikian rupa sehingga seluruhnya melebur dalam kisahnya sehingga pembaca novel ini akan mendapat kisah yang menarik dengan bonus berupa materi-materi penambah wawasan yang telah disebutkan di atas.
Dari segi karakter tokoh, tokoh utama dalam novel ini yaitu Hariang dieksporasi oleh penulisnya dengan sangat baik lewat dialog batin Hariang maupun lewat dialog-dialog dengan lawan bicaranya. Tokoh Hariang digambarkan apa adanya, dia bukan manusia sempurna, di satu sisi dia paham dan taat pada ajaran agamanya, namun sebagai manusia yang penuh kelemahan dia juga dikisahkan tidak luput dari keinginan dan melakukan berbuat dosa. Pergulatan batin inilah yang juga dimunculkan oleh penulisnya sehingga hal ini membuat pembaca akan merasa dekat dengan tokohnya yang begitu manusiawi.
Mengenai kelamin apakah betul bisa didonorkan dan dipasang di tubuh orang lain saya sendiri tidak tahu kebenarannya. Bagi sebagaian pembaca mungkin menganggap hal ini berlebihan dan tidak masuk akal, namun saya pribadi tidak mempermasalahkan karena dengan menggunakan isu donor kelamin sebagai sebuah pertaruhan demi buku dan kasih sayang akan membuat posisi buku sebagai salah satu simbol dari peradaban menjadi semakin kokoh.
Dengan segala kebaikan yang ada dalam novel ini ada sedikit ganjalan yaitu bagaimana Hariang menemukan bahwa Pohon adalah simbol dari tercapainya Puncak Spiritual
'Pohon' adalah simbol bagi ketercapain 'Puncak Spiritual' para orang suci : Musa a.s dengan pohon Zion-nya, Buddha dengan Pohon Bodinya, Isa a.s dengan Pohon Cemaranya dan Muhammad SAW dengan Sidrotul Muntaha-Nya.
(hlm 12)
Hingga saat ini saya belum menemukan literatur yang menghubungkan Nabi Isa a.s (Yesus dalam Kristen) dengan pohon cemara. Atau bagaimana Isa a.s pernah bersinggungan dengan pohon cemara dalam mencapai puncak spiritualnya. Kalaupun pohon cemara sering dikaitkan dalam simbol natal (kelahiran Isa) itu betul, namun simbol itupun terbentuk jauh setelah nabi Isa lahir, dan tradisi menggunakan pohon cemara dalam natal adalah tradisi kaum pagan yang diadopsi oleh orang Kristen di Eropa.
Yang kedua adalah ketika tim dokter yang akan mengoperasi pendonor kelamin hanya terdiri dari dokter anestesi dan dokter bedah saja. Seperti yang kita ketahui organ kelamin pria adalah sebuah struktur yang kompleks dan jika memang hendak dibuang tentunya ada dokter-dokter spesialis lain yang akan menjadi tim operasi.
Terlepas dari dua hal yang menjadi ganjalan bagi saya, secara umum novel ini sangat bagus untuk dipahami dan dimaknai, ada berbagai hal yang bisa pembaca maknai dan membuka wawasan berpikir pembaca. Ini bukan sekedar novel biasa namun novel yang berkisah tentang tokoh-tokohnya yang begitu mencintai buku yang dibalut dalam drama tentang pengorbanan, kasih sayang, dan pengkhianatan.
Bagi para pecinta literasi atau mereka yang gemar membaca, mencintai buku, dan sadar akan makna buku bagi peradaban dunia tentunya akan menemukan kepuasan total ketika membaca novel ini yang rencananya akan ada kelanjutannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar