[No. 385]
Novel tentang orang-orang yang mencintai dan menghargai buku ini merupakan kelanjutan dari novel sebelumnya Perpustakaan Kelamin karya penulis dan praktisi buku Sanghyang Mughni Pancaniti.
Judul : Perpustakaan (Dua) Kelamin - Buku dan Dendam yang Tak Terbatas
Penulis : Sanghyang Mughni Pancaniti
Penerbit : Penerbit Semesta
Cetakan : I, Maret 2019
Tebal : 180 hlm
ISBN : 978-602-14549-3-0
Novel tentang orang-orang yang mencintai dan menghargai buku ini merupakan kelanjutan dari novel sebelumnya Perpustakaan Kelamin karya penulis dan praktisi buku Sanghyang Mughni Pancaniti.
Meneruskan ending di novel sebelumnya yang berakhir saat Hariang berada di ruang operasi untuk operasi pengangkatan kelaminnya yang dijual kepada Ulun, temannya seharga 1,5 milyar untuk membangun perpustakaan peninggalan almarhum ayahnya yang terbakar habis. Novel keduanya ini dimulai dengan sebuah pesan singkat dari Drupadi, kekasih Hariang yang mengabarkan bahwa Ibunya telah meninggal dunia.
Berita duka tersebut menghancurkan hatinya sehingga walau masih dirawat di Jakarta akibat luka operasinya belum pulih betul Hariang nekad dengan perasaan sedih bercampur dendam pulang ke rumahnya di Cigendel - Sumedang agar bisa mengantar ibunya ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
Rasa nyeriku tiba-tiba terseret pada si Ulun, lelaki yang sudah kuanggap sebagai kakak tapi bangsat! Dialah penyebab semuanya yang kumiliki hilang. Hatiku menghujat, "Kau Ulun, mengapa melakukan kekejian ini kepadaku dan ibuku? Ketika kau membakar perpustakaanku dan mengakibatkan 11.000 buku hancur, ibu yang sangat kucintai jadi tak waras dan kehilangan kesadaran sebagai manusia. Lalu kujual kelaminku kepadamu seharga 1,5 milyar untuk mendirikan perpustakaan, supaya ibu sembuh, seperti semula. Tapi lihat sekarang, bukannya sembuh, ibu justru menjadi badan tanpa nyawa yang siap ditelan tanah. Kau telah membunuhnya! Kau telah membunuhnya!"
(hlm 2)
Sesampainya di kampung halamannya Hariang mendapat kejutan yang tidak terduga yang membuat semangatnya bangkit kembali untuk mendirikan kembali perpustakaannya yang hancur. Selain itu walau kini ia hidup tanpa kelamin namun keinginnya untuk menikahi Drupadi tetap ada.
Jika di novel sebelumnya dikisahkan bagaimana Hariang berusaha untuk memperoleh uang untuk membangun kembali perpustakaannya yang terbakar agar ibunya kembali dapat sembuh dari ketidakwarasannya, di novel keduanya ini dikisahkan bagaimana akhirnya uang yang diperolehnya itu dipakainya untuk membangun perpustakaan. Selain itu yang tidak kalah menariknya adalah kisah bagaimana Hariang berusaha untuk memenuhi keinginan Drupadi yang meminta mas kawinnya kelak berupa sebuah buku yang ditulis oleh Hariang sendiri.
Konflik dalam novel ini terbangun dari Hariang yang kini tidak memiliki kelamin. Tidak seorangpun termasuk Ibunya sendiri dan Drupadi yang tahu kalau kelamin Hariang sudah dijual agar ia bisa membangun kembali perpustakaan ibunya yang hancur. Tanpa memiliki kelamin bagaimana nasib pernikahannya kelak? Apakah ia harus membuka rahasianya ini pada Drupadi, dan jika Drupadi telah mengetahuinya masihkan ia mencintainya? Pertanyaan ini terus menghantui Hariang. Selain itu kelaminnya yang telah dijual kepada Ulun yang ternyata orang yang membakar perpustakaan ibunya membuat Hariang dikuasai oleh perasaan dendam pada Ulun. Dendam yang pada akhirnya tidak terbalaskan karena Ulun sendiri tewas karena kecelakaan,
Seperti di novel sebelumnya, konflik dalam novel ini berkelindanan dengan hal-hal yang berhubungan dengan buku dari berbagai genre dan penulis-penulisnya. Ada ratusan buku dan penulis baik lokal maupun mancanaegara muncul disebutkan dalam buku ini. Dari yang serius sampai yang lucu tentang buku muncul lewat dialog-dialog antar tokoh-tokohnya. Misalnya saja saat teman-teman Hariang berdiskusi tentang kebiasaan mereka dalam membaca dan mengoleksi buku-buku dengan tema tertentu yang memunculkan julukan-julukan sebagai berikut :
Konflik dalam novel ini terbangun dari Hariang yang kini tidak memiliki kelamin. Tidak seorangpun termasuk Ibunya sendiri dan Drupadi yang tahu kalau kelamin Hariang sudah dijual agar ia bisa membangun kembali perpustakaan ibunya yang hancur. Tanpa memiliki kelamin bagaimana nasib pernikahannya kelak? Apakah ia harus membuka rahasianya ini pada Drupadi, dan jika Drupadi telah mengetahuinya masihkan ia mencintainya? Pertanyaan ini terus menghantui Hariang. Selain itu kelaminnya yang telah dijual kepada Ulun yang ternyata orang yang membakar perpustakaan ibunya membuat Hariang dikuasai oleh perasaan dendam pada Ulun. Dendam yang pada akhirnya tidak terbalaskan karena Ulun sendiri tewas karena kecelakaan,
Seperti di novel sebelumnya, konflik dalam novel ini berkelindanan dengan hal-hal yang berhubungan dengan buku dari berbagai genre dan penulis-penulisnya. Ada ratusan buku dan penulis baik lokal maupun mancanaegara muncul disebutkan dalam buku ini. Dari yang serius sampai yang lucu tentang buku muncul lewat dialog-dialog antar tokoh-tokohnya. Misalnya saja saat teman-teman Hariang berdiskusi tentang kebiasaan mereka dalam membaca dan mengoleksi buku-buku dengan tema tertentu yang memunculkan julukan-julukan sebagai berikut :
Bibliokawe = kolektor buku-buku bajakan
Bibliokidal = kolektor buku-buku 'kiri'
Biblionista = kolektor buku-buku kontroversial/banyak dikecam orang
Bibliotutup = kolektor buku-buku yang penerbitnya sudah tidak menerbitkan buku lagi
Lalu ada juga tentang proses kreatif penulis-penulis terkenal. Ketika Hariang mengalami kebuntuan saat menulis buku untuk mas kawinnya ia mencoba mengikuti cara-cara yang unik dari penulis-penulis dunia antara lain; menulis sambil berdiri selama enam jam seperti Hemingway, HB Jasin, Virginia Wolf. Duduk di dalam bak mandi yang telah dikuras seperti Agatha Christie saat ingin membuat cerita yang plotnya rumit. Menulis di atas kertas warna pink seperti Alexander Dumas dan Emha Ainun Nadjib, dll.
Atep Kurnia (penulis, peneliti literasi) dalam catatan penutupnya mengatakan bahwa novel ini dapat dikelompokkan sebagai Metabuku atau buku yang membicarakan buku karena banyak dialog-dialog dalam novel ini yang langsung merujuk pada beberapa buku, misalnya tentang rambut gondrong berdasarkan buku Dilarang Gondrong karya Aria Wiratama Yudhistira, para pencuri buku dari buku The Man Who Loved Books to Much karya Hoover Barlet, atau keunikan para penggandrung buku berdasarkan buku Memposisikan Buku di era Cyberspace karya Putut Widjanarko.
Dengan demikian pembaca novel ini akan dirujuk ke berbagai buku sehingga bukan tidak mungkin novel ini menjadi pintu pembuka bagi pembaca yang penasaran ingin membaca buku-buku yang disebut-sebut didalam novel ini.
Sepertinya penulis masih akan melanjutkan kisah Hariang, di akhir kisah ada sebuah clue yang menggiring persepsi pembaca bahwa masih akan ada kelanjutannya. Semoga penulis diberikan energi dan kreatifitas yang melimpah sehingga petualangan Hariang dan kisah tentang buku-bukunya akan berlanjut menjadi sebuah trilogi, bahkan menjadi tetralogi. Bukan Tetralogi Bumi Manusia melainkan Tetralogi Perpustakaan Kelamin.
@htanzil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar